"Cara perhitungannya yaitu mempertemukan atau menjumlahkan urip pancawara dan urip saptawara. Kemudian hasil penjumlahannya dikalikan enam," kata Guna.(Gbr Ist) |
DENPASAR- Seseorang yang lahir di dunia ini telah diberikan jatah kehidupan masing-masing.
Entah berapa lama bisa menghirup udara di dunia ini, hanya Tuhan Seru Sekalian Alam yang tahu.
Namun, menurut konteks orang yang belajar wariga sebagaimana yang dikatakan oleh I Putu Eka Guna Yasa, seorang pegiat lontar dari Universitas Udayana bahwa umur seseorang bisa dihitung.
"Cara perhitungannya yaitu mempertemukan atau menjumlahkan urip pancawara dan urip saptawara. Kemudian hasil penjumlahannya dikalikan enam," kata Guna.
Ia bahkan mencontohkan perhitungan jatah umur manusia menggunakan pancawara dan saptawara kelahirannya.
Guna mengatakan pancawara kelahirannya yaitu Wage, sedangkan saptawaranya yaitu Saniscara (Sabtu).
Urip dari Wage adalah 4 dan Saniscara adalah 9.
Sehingga perhitungannya adalah (9 + 4) × 6 = 88.
"Jadi tuwuh (umur) saya dalam konteks orang yang belajar wariga kurang lebih 88 tahun. Itu idealnya," imbuh Guna.
Bagaimana ada yang ingin tahu jatah kehidupannya di dunia berdasarkan perhitungan tersebut? Silakan dicoba sendiri.
Urip Panca wara; Umanis (5), Pahing (9), Pon (7), Wage (4), Kliwon (8).
Urip Sapta wara; Dina Redite/Minggu (5), Soma/Senin (4), Anggara/Selasa (3), Budha/Rabu (7), Wraspati/Kamis (8), Sukra/Jumat (6), Saniscara/Sabtu (9).
Percaya tidak percaya kembali kepada diri masing-masing karena semua telah digariskan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam.
Panglukatan Bagi Anak yang Lahir Wuku Wayang
Seseorang yang lahir saat wuku wayang, sehabis pertunjukan wayang sapuh leger akan menjalani prosesi panglukatan.
Dalam buku Wayang Sapuh Leger (2007) karya I Dewa Ketut Wicaksana halaman 83 disebutkan bahwa sarana panglukatan terdiri atas bejana (periuk tanah) berisi air bening ditopang dengan wanci, air cendana, bija, alat pedupaan dan bunga berwarna 11 macam, senyiru segehan gede lengkap dengan tetabuhan tuak, arak, dan beren.
Lebih lanjut disebutkan jenis-jenis wayang yang digunakan sebagai sarana panglukatan yaitu Twalen, Sang Hyang Siwa, Sang Hyang Acintya, dan Kekayonan.
Selanjutnya pada halaman 88 dijelaskan mengenai jalannya upacara lukatan, yang dimulai dari Sang Amangku Dalang turun dari tempatnya ngwayang menuju natar di mana anak atau orang yang dilukat sudah menanti.
Orang tersebut duduk menghadap utara atau ke timur beralaskan alat bajak untuk pria dan alat pertenunan untuk wanita serta segenggam padi utuh.
Dalang berdiri berhadapan membawa dupa, setelah dimantrai lalu ditancapkan ke tanah sebagai saksi.
Selanjutnya mengambil air bersih untuk membersihkan kedua tangan yang akan dilukat.
Toya panglukatan diambil oleh dalang ditaruh di atas ubun-ubun anak yang akan diruwat lalu dimantrai.
Dalang mengambil padma busung untuk memercikkan toya panglukatan tersebut.
Kemudian toya panglukatan dituangkan kepada anak yang dilukat untuk diminum, dan diraupkan ke muka sebanyak tiga kali.
Setelah itu baru toya panglukatan disiramkan ke tubuh sang anak.
Anak yang dilukat bersama kedua orang tuanya melakukan persembahyangan kehadapan Sanggah Surya dan kehadapan wayang.
Acara terakhir yaitu natab banten otonan.
sumber : tribun