Menyingkap Berita Tanpa Ditutup Tutupi
Home » , » Disetorkan ke Pusat Capai Rp 41 triliun, Bali Tuntut Rp 10 Triliun Per Tahun

Disetorkan ke Pusat Capai Rp 41 triliun, Bali Tuntut Rp 10 Triliun Per Tahun

Written By Dre@ming Post on Rabu, 26 Februari 2014 | 7:55:00 AM

Wagub Sudikerta - Achsanul Qosasi, Setiap tahun, Bali hanya mendapatkan dana perimbangan sebesar Rp 900 miliar, padahal devisa negara yang disetor ke pusat ari hasil pariwisata mencapai Rp 41 triliun.
DENPASAR - Pemprov Bali tuntut segera direalisasikan revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang selama ini tidak memberikan keadilan bagi Pulau Dewata sebagai salah satu daerah penyetor devisa negara terbesar ke pusat. Dalam revisi UU Keuangan Negara ini, Pemprov Bali menuntut dana perimbangan Rp 10 triliun per tahun.

Tuntutan ini disampaikan Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta dalam acara sosialisasi RUU Keuangan Negara oleh Pansus RUU Keuangan Negara DPR RI di Gedung Wiswa Sabha Utama Kantor Gubernuran, Niti Mandala Denpasar, Selasa (25/2). Dalam acara sosialisasi RUU Keuangan Negara tersebut, Wagub Sudikerta didampingi para pimpinan SKPD lingkup Pemprov Bali. Sedangkan Ketua Pansus RUU Keuangan Negara, Achsanul Qosasi, didampingi sejumlah anggotanya seperti Edwin Kawilarang, Harry Azhari Azis, Sayed Muhammad Muliady, Buchory Yusuf, Muhajir, dan Mustofa Assegaf. Wagub Sudikerta memaparkan, Bali selama ini menjadi penyumbang devisa negara terbesar dari sektor pariwisata. Hasil pariwisata yang disetorkan ke pusat mencapai Rp 41 triliun per tahun.

Belum lagi, kalau ada event-event internasional berskala besar di Bali yang menghasilkan duit triliunan rupiah pula. Namun, kata Sudikerta, Bali belum mendapatkan cipratan merata dan adil dari pusat. Setiap tahun, Bali hanya mendapatkan dana perimbangan sebesar Rp 900 miliar, padahal devisa negara yang disetor ke pusat ari hasil pariwisata mencapai Rp 41 triliun. “Kami meminta pembagian yang berkeadilan. Selama ini Bali sudah memberikan sangat besar ke pusat, tetapi yang dikembalikan ke daerah amat kecil,” ujar Sudikerta. “Kami minta Rp 10 triliun per tahun. Bali ingin dikhususkan dana perimbangannya, supaya berkeadilan. Ya, ada pengecualian-lah untuk Bali,” lanjut Wagub yang juga Ketua DPD I Golkar Bali ini. Ditegaskan Sudikerta, Bali tidak memiliki sumber daya alam (SDA) seperti daerah lainnya. Sumber pendapatan Bali hanya dari pariwisata, sehingga tidak bisa disamakan dengan daerah lain yang memiliki SDA.

"Bali itu tidak mempunyai sumber daya alam, namun menghasilkan jasa sehingga sudah seharusnya Bali dikhususkan. Dengan dana perimbangan yang lebih berkeadilan, maka kami bisa lebih cepat mewujudkan kemakmuran," tandas Sudikerta. Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara luas, kata Sudikerta, Bali terkendala persoalan inskonsistensi antara realisasi pembangunan dengan perencanaan. Postur APBD di Kabupaten/Kota juga didominasi belanja pegawai. “Hampir 60-70 persen APBD Kabupaten/Kota di Bali habis untuk belanja pegawai. Nggak bisa mensejahterakan rakyat dengan belanja pegawai segitu. Hanya di Kabupaten Badung dan Provinsi Bali, belanja pegawainya lebih kecil ketimbang biaya pembangunannya,” sebut mantan Wakil Bupati Badung dua kali periode ini. Sementara itu, Ketua Pansus RUU Keuangan Negara DPR RI, Achsanul Qosasi, mengatakan memang sudah waktunya UU hasil revisi nanti menyesuaikan dengan kepentingan daerah.

Dia menilai, selama ini UU Keuangan Negara belum mengakomodasi kepentingan pembangunan yang direncanakan dan terkumpul lewat Bappenas. Hal itulah yang menyebabkan sering tidak tercapainya sinergitas antara hasil Musrenbang dari bawah dengan alokasi APBN untuk daerah. DPR pun akan menyampaikan keinginan Bali untuk mendapatkan pembagian Rp 10 triliun per tahun. Politisi Demokrat ini menyatakan, rumusan dana perimbangan sebenarnya sudah diberikan cukup kepada Bali. Menurut Achsanul, Bali penyumbang devisi terbesar dari sektor pariwisata dan Bali sendiri juga menerimanya cukup besar. Hanya, bentuknya tidak gelondongan duit, melainkan berupa infrastruktur. Achsanul berpandangan, perhatian pemerintah pusat terhadap Bali lebih pada program infrastruktur, seperti pembangunan Jalan Tol Bali Mandara.

"Hal itu sesungguhnya bagian upaya agar orang semakin nyaman datang ke Bali,” katanya. Di sisi lain, Pansus RUU Keuangan Negara DPR juga mendorong Pemprov Bali memperjuangkan ke Kementerian BUMN supaya memperoleh bagian dari airport tak (pajak bandara) Bandara Internasional Ngurah Rai Tuban, yang selama ini ditarik PT Angkasa Pura II. "Wisatawan datang ke sini (Bali) bukan karena bandaranya yang bagus. Mereka datang karena Bali-nya yang bagus. Sehingga dari sisi pembagian, tentunya Pemprov Bali seharusnya bisa mendapatkan hak untuk dibagi pajak bandaranya, dengan persentase tertentu yang tidak mengganggu hak dari Angkasa Pura II," jelas Achsanul.

Persentase pajak bandara yang bisa diperoleh Bali itu, menurut Achsanul, dapat diperoleh dengan menghitung selisih (delta) perkembangan wisatawan datang ke Pulau Dewata dari tahun ke tahun. "Hal tersebut dapat menjadi dasar bagi Pemprov Bali untuk mengajukan dan meminta bagian dari pajak bandara. Memang mestinya ada biaya-biaya khusus dialokasikan untuk Bali yang diambilkan dari wisatawan yang datang." Menurut Achsanul, hal ini wajar dipertimbangkan Kementerian BUMN dan sekaligus nantinya dapat menjadi bagian dari komitmen Pemprov Bali untuk memperbanyak wisatawan datang. "Turis datang ke Bali bisa semakin banyak, pajak bandara makin besar. Itu artinya, pemerintah daerah diuntungkan, Angkasa Pura pun memperoleh pendapatan yang kontinyu," jelasnya. Sementara, Ketua Rombongan Pansus RUU Keuangan Negara DPR, Edwin Kawilarang, setidaknya ada 12 permasalahan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang diinventarisasi (direvisi).

Di antaranya, kesejahteraan rakyat seringkali tidak tergambar dalam pengelolaan keuangan negara yang berwujud APBN dan posturnya tergerus pada biaya rutin pemerintah. Juga, tidak jelasnya pengaturan mengenai pengelolaan dana pihak ketiga atau perwalian seperti dana haji. "Selain itu, belum sinerginya antara perencanaan dan penganggaran karena dalam penyusunan APBN lebih mengutamakan egosektoral, bukannya berdasarkan kinerja tahun sebelumnya. Di samping itu, ketidakjelasan pengaturan mengenai sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit anggaran dan berbagai masalah lainnya," ujarnya dilansir Antara. Edwin menambahkan, dengan mendapat masukan dari Pemprov Bali dan berbagai pemangku kepentingan terkait dari Pulau Dewata, diharapkan mampu menyempurnakan rumusan RUU Keuangan Negara.


sumber : NusaBali
Share this article :

Dunia Bintang School

Visitors Today

Recent Post

Popular Posts

Hot Post

Dua Pemancing Tergulung Ombak Di Tanah Lot Masih Misteri

Dua Orang Hilang di Lautan Tanah Lot, Terungkap Fakta: Istri Melarang dan Pesan Perhatikan Ombak TABANAN - Sekitar sembilan jam lamany...

 
Support : Dre@ming Post | Dre@aming Group | I Wayan Arjawa, ST
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bali - All Rights Reserved
Template Design by Dre@ming Post Published by Hot News Seventeen